KEBEBASAN INDIVIDU DALAM KONTEKS
KESEJAHTERAAN SOSIAL
Pilar
paling penting menurut imam muslim adalah kepercayaan bahwa manusia telah
diciptakan oleh Allah dan tunduk hanya kepada-Nya,sebagaimana firman Allah SWT
dalam surah Ar’Ra’d (13) ayat 36 yang artinya: orang-orang yang telah kami
berikan kitab kepada mereka bergembira dengan kitab yang diturunkan
kepadamu,dan diantara golongan-golongan (yahudi dan nasrani) yang bersekutu,ada
yang ,mengingkari sebagiannya. Katakanlah “sesungguhnya aku hanya diperintah
muntuk menyembah Allah dan tidak mempersekutukan sesuatu pun dengan Dia. Hanya
kepada-Nya aku seru (manusia) dan hanya kepada-Nya aku sendiri.”
Dalam surah Luqman (31) ayat 22 yang artinya:
dan barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah,sedang dia orang yang
berbuat kebaikan,maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang
kokoh. Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan. Hal ini merupakan
inti sari dari piagam kebebasan islam dari semua perbudakan. Karenanya
Al-qur’an mengantarkan bahwa salah satu sasaran pokok misi Muhammad yang berupa
ramalan adalah melepaskan umat manusia dari beban dan mata rantai atas diri
mereka,sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Al-A’raf (7) ayat 157 yang
artinya: (yaitu) orang-orang yang mengikut rasul,nabi yang ummi yang (namanya)
mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka,yang
menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan
yang munkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi
mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka
orang-orang yang beriman kepadanya memuliakannya,menolongnya dan mengikuti
cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-qur’an),mereka itulah
orang-orang yang beruntung.
Maksud
dari ayat di atas adalah bahwa dalam syariat yang dibawa oleh Muhammad tidak
ada lagi beban-beban yang berat yang dipulkan kepada bani israil. Misalnya,
mensyariatkan membunuh diri untuk sahnya taubat,mewajibkan pada pembunuhan,baik
disengaja atau tidak tanpa membolehkan membayardiat,memotong anggota badan yang
melakukan kesalahan,membuang atau menggunting kain yang kena najis. Karena
manusia dilahirkan cuma-cuma, tak seorangpun, bahkan negara,punya hak untuk
membatalkan kebebaan ini dan menunjukan hidupnya ke cara hidup teratur. Ada
suatu konsensus antar ahli hukum islam bahwa pembatasan tidak bisa dibebankan
secara cuma-cuma, pada orang dewasa dan orang sehat ingatan. Abu Hanifah,
pendiri dari sekolah hukum islam Hanafi, membahas lebih lanjut dan menyatakan
bahwa pembatasan itu tidak mungkin dibebankan pada orang yang bebas, dewasa dan
orang sehat ingatan sekalipun ia merugikan kepentingannya sendiri,untuk
mengutip contohnya sendiri, pembelajaraan uang dengan tidak memiliki tujuan
tanpa manfaat. Alasan yang ia berikan untuk ini adalah bahwa menyangkut
kebebasan memilih adalah deprave dia dari kebebasan pilihan adalah seperti
penurunan pangkat ras manusianya dan memperlakukan dia seperti binatang.
Luka-luka yang dilakukan oleh hal ini akan lebihg besar dibanding yang
luka-luka yang diakibatkan oleh pelaksanaannya. Suatu kerugian yang lebih besar
sebaiknya tidak ditimbulkan untuk menghindari suatu kerugian lebih kecil.
Perbedaan pendapat ini, ada hanya jika individu menyakiti kepentingannya sendiri,
tanpa melewati kewajiban dan ikatan moral Islam. Hanyalah jika individu
menyakiti kepentingan orang lain, kemudian tidak ada perbedaan pendapat bahwa
pembatasan dapat dan harus dibebankan atasnya. Semua ahli hukum mengizinkan
pembatasan untuk dikenakan jika ini mencegah kerugian kepada orang yang lain
atau menyelamatkan kepentingan publik, seperti kata-kata Abu Hanifah,
pengendalian pada seorang dokter tak terlatih atau suatu hakim/wasit teledor
atau suatu pemberi kerja yang bangkrut, sebab kendali seperti itu memindahkan
suatu bahaya yang lebih besar dengan menimbulkan bahaya/kejahatan yang lebih
kecil: ‘Kesejahteraan sosial mempunyai suatu tempat arti penting kemutlakan di
dalam Islam dan kebebasan individu, meskipun demikian, kepentingan utama
bukanlah tidak independen dari implikasi sosialnya.
Penetapan
prospektif yang sesuai atas hak-hak individu timbal balik dengan individu yang
lain dan masyarakat, hakim-hakim telah setuju atas prinsip-prinsip dasar
berikut.
1. Kepentingan
masyarakat yang lebih besar harus didahulukan daripada kepentingan individu.
2. Walaupun
pembebesan atas kesukaran dan promosi manfaat, kedua-duanya di anatara sasaran
utama dari Islam, yang terdahulu harus didahulukan dari yang belakangan.
3. Suatu
kerugian lebih besar tidak bisa dikenakan untuk membebaskan suatu kerugian
lebih kecil atau suatu manfaat lebih besar tidak bisa dikorbankan untuk yang
lebih kecil. Dan sebaliknya suatu kejahatan yang lebih besar atau suatu manfaat
lebih kecil dapat dikorbankan untuk suatu manfaat lebih besar. Kebebasan
individu, di dalam batas Islam yang etis, hanya bisa dikorbankan sepanjang hal
itu tidak bertentangan dengan kepentingan sosial yang lebih besar atau sepanjang individu
tidak melewati hak-hak orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar