Minggu, 01 November 2015

artikel kebebasan

KEBEBASAN INDIVIDU DALAM KONTEKS KESEJAHTERAAN SOSIAL
Pilar paling penting menurut imam muslim adalah kepercayaan bahwa manusia telah diciptakan oleh Allah dan tunduk hanya kepada-Nya,sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Ar’Ra’d (13) ayat 36 yang artinya: orang-orang yang telah kami berikan kitab kepada mereka bergembira dengan kitab yang diturunkan kepadamu,dan diantara golongan-golongan (yahudi dan nasrani) yang bersekutu,ada yang ,mengingkari sebagiannya. Katakanlah “sesungguhnya aku hanya diperintah muntuk menyembah Allah dan tidak mempersekutukan sesuatu pun dengan Dia. Hanya kepada-Nya aku seru (manusia) dan hanya kepada-Nya  aku sendiri.”
 Dalam surah Luqman (31) ayat 22 yang artinya: dan barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah,sedang dia orang yang berbuat kebaikan,maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan. Hal ini merupakan inti sari dari piagam kebebasan islam dari semua perbudakan. Karenanya Al-qur’an mengantarkan bahwa salah satu sasaran pokok misi Muhammad yang berupa ramalan adalah melepaskan umat manusia dari beban dan mata rantai atas diri mereka,sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Al-A’raf (7) ayat 157 yang artinya: (yaitu) orang-orang yang mengikut rasul,nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka,yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang munkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan  belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya memuliakannya,menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-qur’an),mereka itulah orang-orang yang beruntung.             
Maksud dari ayat di atas adalah bahwa dalam syariat yang dibawa oleh Muhammad tidak ada lagi beban-beban yang berat yang dipulkan kepada bani israil. Misalnya, mensyariatkan membunuh diri untuk sahnya taubat,mewajibkan pada pembunuhan,baik disengaja atau tidak tanpa membolehkan membayardiat,memotong anggota badan yang melakukan kesalahan,membuang atau menggunting kain yang kena najis. Karena manusia dilahirkan cuma-cuma, tak seorangpun, bahkan negara,punya hak untuk membatalkan kebebaan ini dan menunjukan hidupnya ke cara hidup teratur. Ada suatu konsensus antar ahli hukum islam bahwa pembatasan tidak bisa dibebankan secara cuma-cuma, pada orang dewasa dan orang sehat ingatan. Abu Hanifah, pendiri dari sekolah hukum islam Hanafi, membahas lebih lanjut dan menyatakan bahwa pembatasan itu tidak mungkin dibebankan pada orang yang bebas, dewasa dan orang sehat ingatan sekalipun ia merugikan kepentingannya sendiri,untuk mengutip contohnya sendiri, pembelajaraan uang dengan tidak memiliki tujuan tanpa manfaat. Alasan yang ia berikan untuk ini adalah bahwa menyangkut kebebasan memilih adalah deprave dia dari kebebasan pilihan adalah seperti penurunan pangkat ras manusianya dan memperlakukan dia seperti binatang. Luka-luka yang dilakukan oleh hal ini akan lebihg besar dibanding yang luka-luka yang diakibatkan oleh pelaksanaannya. Suatu kerugian yang lebih besar sebaiknya tidak ditimbulkan untuk menghindari suatu kerugian lebih kecil. Perbedaan pendapat ini, ada hanya jika individu menyakiti kepentingannya sendiri, tanpa melewati kewajiban dan ikatan moral Islam. Hanyalah jika individu menyakiti kepentingan orang lain, kemudian tidak ada perbedaan pendapat bahwa pembatasan dapat dan harus dibebankan atasnya. Semua ahli hukum mengizinkan pembatasan untuk dikenakan jika ini mencegah kerugian kepada orang yang lain atau menyelamatkan kepentingan publik, seperti kata-kata Abu Hanifah, pengendalian pada seorang dokter tak terlatih atau suatu hakim/wasit teledor atau suatu pemberi kerja yang bangkrut, sebab kendali seperti itu memindahkan suatu bahaya yang lebih besar dengan menimbulkan bahaya/kejahatan yang lebih kecil: ‘Kesejahteraan sosial mempunyai suatu tempat arti penting kemutlakan di dalam Islam dan kebebasan individu, meskipun demikian, kepentingan utama bukanlah tidak independen dari implikasi sosialnya.
Penetapan prospektif yang sesuai atas hak-hak individu timbal balik dengan individu yang lain dan masyarakat, hakim-hakim telah setuju atas prinsip-prinsip dasar berikut.
1.      Kepentingan masyarakat yang lebih besar harus didahulukan daripada kepentingan individu.
2.      Walaupun pembebesan atas kesukaran dan promosi manfaat, kedua-duanya di anatara sasaran utama dari Islam, yang terdahulu harus didahulukan dari yang belakangan.
3.      Suatu kerugian lebih besar tidak bisa dikenakan untuk membebaskan suatu kerugian lebih kecil atau suatu manfaat lebih besar tidak bisa dikorbankan untuk yang lebih kecil. Dan sebaliknya suatu kejahatan yang lebih besar atau suatu manfaat lebih kecil dapat dikorbankan untuk suatu manfaat lebih besar. Kebebasan individu, di dalam batas Islam yang etis, hanya bisa dikorbankan sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan kepentingan sosial  yang lebih besar atau sepanjang individu tidak melewati hak-hak orang lain. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar